MAKALAH FIQIH MUAMALAH "JUAL BELI"
MAKALAH
FIQIH MUAMALAH
JUAL BELI
DisusunOleh:
M.
SUKRI GOZALI
FAKULTAS
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
YAPERI
CIBINONG-BOGOR
2017
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah
Penulis panjatkan puji syukur dengan berkat rahmat Allah SWT, yang telah
memudahkan Penulis dalam menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Shalawat
dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasulullah terakhir yang
diutus dengan membawa syari’ah yang mudah, penuh rahmat, dan membawa
keselamatan dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Makalah
berjudul “Jual Beli (Bai’) ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Fiqih Muamalah. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuan yang ada agar makalah ini dapat tersusun sesuai
harapan. Sesuai dengan fitrahnya, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang
tak luput dari kesalahan dan kekhilafan, maka dalam makalah yang Penulis susun ini
belum mencapai tahap kesempurnaan.
Terakhir,
Penulis mengucapkan Jazakumullah
akhsanal jaza, kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam proses
penyelesaian makalah ini, khususnya kepada Bapak Asep Sopyan yang telah
memberikan tugas dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini. Mudah-mudahan
makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua dalam kehidupan
sehari-hari. Adapun kritik dan saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Tanjungsari, September 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah................................................................................ 2
1.3. Tujuan Penulisan.................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3
2.1. Pengertian Jual Beli............................................................................. 3
2.2. Landasan Hukum Jual Beli.................................................................. 4
2.3. Syarat dan Rukun Jual Beli.................................................................. 4
2.3.1. Syarat Jual Beli............................................................................. 5
2.3.2. Rukun Jual Beli............................................................................ 7
2.3.3. Hukum (Ketetapan) Bai’ Beserta Pembahasan
Barang dan Harga......................................................................... 7
2.4. Macam-macam Jual Beli..................................................................... 10
2.5. Jual Beli yang Sah Hukumnya, Tetapi Dilarang
Agama..................... 13
BAB III PENUTUP........................................................................................ 15
3.1. Kesimpulan......................................................................................... 15
3.2. Saran................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Agama Islam mengatur
setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya
yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan
sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan
sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan
Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah
atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli,
sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenuhi
kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi
yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si
pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan
secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang
jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.Dengan kemajuan teknologi,
dan maraknya penggunaan internet, kartu kredit, ATM, dan lain-lain sehingga kedua
belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
Dengan cara demikian
kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang
lainpun menjadi lebih teguh. Akan tetapi sifat loba dan tamak tetap ada pada
manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai
tersia-sia, dan juga menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan
dengan lancar dan teratur. Oleh sebab itu agama memberi peraturan yang
sebaik-baiknya; karena dengan teraturnya muamalat, maka penghidupan manusia
jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya sehingga pembantahan dan
dendam-mendendam tidak akan terjadi.
Nasihat Luqmanul Hakim
kepada anaknya, “Wahai anakku! Berusahalah untuk menghilangkan kemiskinan
dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang berusaha dengan jalan yang
halal itu tidaklah akan mendapat kemiskinan, kecuali apabila dia telah
dihinggapi oleh tiga macam penyakit: (1) tipis kepercayaan agamanya, (2) lemah
akalnya, (3) hilang kesopanannya,”
Sebenarnya bagaimana
pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah?Apa saja syaratnya? Lalu apakah
jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah menurut fiqih muamalah?
Tentu ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk dibahas.
1.2.RumusanMasalah
Dari beberapa uraian
diatas tentang Ba’i atau jual beli yang sebagian telah dipaparkan, maka
beberapa pertanyaan yang perlunya untuk di jawab agar tidak ada keraguan lagi.
1. Apa yang Dimaksud
dengan Jual Beli ?
2. Bagaimana Hukum Jual beli
?
3. Apa Saja Rukun-rukun
dan Syarat-syarat Jual Beli ?
4. Sebutkan Macam-macam Jual
Beli ?
5. Apa Saja Jual Beli
yang Sah Hukumnya, Tetapi Dilarang Agama ?
1.3.TujuanPenulisan
Dari beberapa uraian
rumusan masalah diatas, maka dapat di spesifikan beberapa tujuan penulis
menyusun makalah ini, diantaranya :
1.
Mahasiswa dapat memahami ruang lingkup jual beli dalam
Fiqih Muamalah.
2.
Untuk memperdalam materi jual beli agar bisa
menerapkan keluar.
3.
Memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Jual Beli
Arti jual beli secara
bahasa adalah menukar sesuatu dengan sesuatu. Jual beli menurut syara’ adalah akad tukar menukar harta
dengan harta yang lain melalui tata cara yang telah ditentukan oleh hukum
islam. Yang dimaksud kata “harta” adalah terdiri dari dua macam. Pertama;
harta yang berupa barang, misalnya buku, rumah, mobil dll. Kedua;
harta yang berupa manfaat (jasa), misalnya pulsa telephone, pulsa
listrik, dan lain-lain.
Sedangkan menurut
istilah, yang dimaksud jual beli adalah :
a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang
dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar
saling merelakan;
b.
Menurut Syekh Muhammad ibn Qasim Al-Ghazzi :
Pengertian jual beli yang tepat ialah, memiliki suatu harta (uang) dengan
mengganti sesuatu atas dasar izin syara, sekedar memiliki izin manfaatnya saja
yang diperbolehkan syara untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui
pembayaran yang berupa uang;
c.
Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul al-Akhyar : Pengertian jual
beli adalah, saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab qobul, dengan
apa yang sesuai dengan syara;
d.
Menurut Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitabnya, Fath al-Wahab: Pengertian jual beli
adalah, Tukar menukar benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan);
e.
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah :
Pengertian jual beli adalah, penukaran benda dengan benda lain dengan jalan
saling atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya melalui jalan (cara)
yang diperbolehkan;
f.
Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang julan
beli (ba’i) diantaranya; Ulama Hanafiyah “Jual beli adalah pertukaran harta
dengan harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang diperbolehkan) syara’ yang
disepakati”. Menurut Imam Nawawi dalam al-majmu’ mengatakan “Jual beli adalah
pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar barang dengan barang
atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik atas dasar saling
merelakan.
2.2. Landasan Hukum Jual Beli
Dasar
hukum (landasan syara’) jual beli adalah sebagai berikut :
a. Dasar Al-Qur’an
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan harta sesamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama suka diantara kamu ......... (Q.S.
AN-Nisa : 29)
b. Al-Hadits :
“Dari Rifa’ah ibn Rafi’ RA. Nabi Muhammad SAW., Ditanya tentang
mata pencaharian yang paling baik, beliau menjawab, ‘Seseorang yang bekerja
dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur’.” (HR. Bazzar, hakim menyahihkannya dari Rifa’ah ibn
Rafi’)
Maksud Mabrur dalam hadits diatas adalah jual beli
yang terhindar dari usaha tipu-menipu, dan merugikan orang lain.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas maka hukum
dari jual beli adalah halal atau boleh.
c. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan
dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa
bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang
dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
d. Hukum-hukum yang bersangkutan paut dengan jual beli :
1. Mubah (boleh), ialah
asal hukum jual beli;
2. Wajib, seperti wali menjual harta anak yatim apabila
terpaksa, begitu juga qadhi menjua harta muflis (orang yang lebih banyak
utangnya daripada hartanya) sebagaimana akan datang keterangannya tentang
muflis;
3. Haram, sebagaimana
yang telah lalu apa-apa jual beli yang terlarang;
4. Sunat, seperti jual
beli kepada sahabat atau pamili yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat
berhajat kepada barang itu.
2.3. Syarat dan Rukun Jual Beli
2.3.1.
Syarat Jual Beli
Syarat adalah hal-hal yang harus ada atau dipenuhi
sebelum transaksi jual beli
1) Syarat Penjual dan
Pembeli atau pihak yang bertransaksi (Aqid)
adalah :
a. Berakal,
agar dia tidak terkecoh, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
b. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa), keterangannya yaitu ayat diatas tentang suka sama
suka.
c. Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang mubazir itu di tangan walinya,
sedangkan dalam jual beli itu harus barang milik sendiri.
d. Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa), anak kecil tidak sah jual belinya, adapun anak yang
sudah mengerti tetapi belum sampai pada umur dewasa, menurut pendapat sebagian
para ulama mereka diperbolehkan berjual-beli barang yang kecil-kecil; karena
kalau tidak diperbolehkan sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran,
sedangkan agama islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan yang
mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.
2) Syarat Barang yang
diperjual-belikan atau objek jual beli (Ma’qud
Alaih)
a.
Suci, barang najis tidak sah di jual dan tidak boleh
dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum
disamak (dikuliti).
b.
Ada manfaatnya, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti
menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang.
c.
Barang itu dapat diserahkan, tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan
kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih
berada di tangan yang merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua
itu mengandung tipu daya (kecohan).
d.
Barang tersebut merupakan
kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahakan.
e.
Barang tersebut diketahui oleh si
penjual dan si pembeli, zat,
bentuk, kada (ukuran) dan sifat-sifatnya jelas, sehingga antara keduanya tidak
akan terjadi kecoh-mengecoh.
3) Syarat ucapan serah
terima (Ijab dan Kabul)
Ijab kabul dapat dilakukan dengan kata-kata penyerahan
dan penerimaan atau dapat juga berbentuk tulisan seperti faktur, kuitansi, atau
nota dan lain sebagainya.
Ijab adalah perkataan penjual, umpanya, “saya jual barang
ini sekian”.
Kabul adalah ucapan si pembeli, “Saya terima (saya beli)
dengan harga sekian.” Keterangannya yaitu ayat yang mengatakan bahwa jual beli
itu suka sama suka.
Sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui
dengan jelas kecuali dengan perkataan, karena perasaan suka itu bergantung pada
hati masing-masing. Ini pendapat kebanyakan para ulama. Tetapi Imam Nawawi,
Mutawali, Bagawi dan beberapa ulama yang berpendapat bahwa lafaz itu tidak
menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut telah berlaku
bahwa hal yang seperti itu sudah dipandang sebagai jual beli, maka itu saja
sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafaz.
Menurut ulama yang mewajibkan lafaz, lafaz itu
diwajibkan memenuhi beberapa syarat :
a)
Keadaan ijab dan kabul berhubungan. Artinya salah satu
dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
b)
Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walau lafaz
keduanya berlainan.
c)
Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain,
seperti katanya “Kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian.”
d) Tidak berwaktu, sebab
jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun, tidak sah.
2.3.2.
Rukun Jual Beli
Rukun adalah hal-hal
yang harus ada dan terpenuhi dalam pelaksanaan transaksi jual beli, Rukun jual
beli ada 3 :
1. Aqid (Pihak
yang bertransaksi)
2. Ma’qud Alaih mencakup barang yang jual dan harganya
3. Sighat Ijab Kabul (ucapan serah terima dari penjual dan pembeli)
2.3.3.
Hukum (Ketetapan) Ba’i Beserta Pembahasan Barang dan Harga
1. Hukum (Ketetapan) Akad
Hukum akad adalah tujuan dari akad. Dalam jual beli,
ketetapan akad adalah menjadikan barang sebagai milik pembeli dan menjadikan
harga atau uang sebagai milik penjual.
Secara mutlak hukum akad dibagi tiga bagian :
a. Dimaksudkan sebagai taklif, yang berkaitan dengan wajib,
haram, sunah, makruh, dan mubah.
b. Dimaksudkan sesuai
dengan sifat-sifat syara’ dan perbuatan, yaitu : sah, luzum, dan tidak luzum, seperti
pernyataan, “akad yang sesuai dengan rukun dan syaratnya disebut sahih lazim.”
c. Dimaksudkan sebagai
dampak tasharruf syara’, seperti
wasiat yang memenuhi ketentuan syara’ berdampak pada beberapa ketentuan, baik
bagi orang yang diberi wasiat, maupun bagi orang atau benda yang diwasiatkan.
Hukum atau ketetapan
yang dimaksud pada pembahasan akad jual-beli ini, yakni menetapkan barang milik
pembeli dan menetapkan uang milik penjual.
Hak-hak akad (huquq al-aqd) adalah aktifitas yang
harus dikerjakan sehingga menghasilkan hukum akad, seperti menyerahkan barang
yang dijual, memegang harga (uang), mengembalikan barang yang cacat, khiyar,
dan lain-lain.
Adapun hak jual-beli
yang mengikuti hukum adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan barang yang
dibeli, yang meliputi berbagai hak yang harus ada dari benda tersebut yang
disebut pengiring (murafiq). Kaidah
umum dari masalah ini misalnya : segala sesutau yang berkaitan dengan rumah
adalah termasuk pintu, jendela, WC, dapur dan lain-lain, walaupun tidak
disebutkan ketika akad, kecuali jika ada pengecualian.
2. Tsaman (harga) dan Mabi’ (Barang Jualan)
a. Pengertian harga dan
mabi’
Secara umum, mabi’ adalah “ma yata’ayyanu bitt
ta’yiinn” (perkara yang menjadi tentu dengan ditentukan”. Sedangkan pengertian
harga secara umum adalah “ma laa yata’ayyanu bitt ta’yiinn” (perkkara yang
tidak tentu dengan ditentukan).
Definisi diatas sebenarnya sangat umum sebab sangat bergantung pada bentuk dan
barang yang diperjualbelikan. Adakalanya mabi’tidak memerlukan penentuan,
sebaliknya harga memerlukan penentuan, seperti penetapan uang muka.
Imam syafi’i dan jafar berpendapat bahwa harga dan mabi’ termasuk dua nama yang berbeda bentuknya, tetapi maksudnya
satu perbedaan diantara keduanya dalam hukum adalah penggunaan huruf Ba (dengan).
b.
Penentuan mabi’ (barang jualan)
Penentuan Mabi’ adalah penentuan barang yang akan dijual dari
barang-barang lainnya yang tidak akan dijual. Jika penentuan tersebut menolong
atau menentukan akad, baik pada jual beli yang barangnya ada di tempat akad
atau tidak apabila mabi’ tidak ditentukan dalam akad, penentuannya adalah
dengan cara penyerahan mabi’ tersebut.
c.
Perbedaan Harga, Nilai, dan Utang
1. Harga
Harga
hanya terjadi pada akad, yakni sesuatu yang direlakan dalam akad, baik lebih
sedikit, lebih besar, atau sama dengan nilai barang. Biasanya harga dijadikan
penukar barang yang diridai oleh kedua pihak yang berakad.
2. Nilai Sesuatu
Sesuatu
yang dinilai sama menurut pandangan manusia.
3. Utang
Utang
adalah sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang dalam urusan harta, yang
keberadaannya disebabkan adanya beberapa iltijam,
yakni keharusan untuk mengerjakan atau tidak untuk mengerjakan sesuatu
untuk orang lain, seperti merusak harta ghasab, berutang, dan lain lain.
d.
Perbedaan Mabi’ dan Harga
Kaidah umum tentang mabi’ dan harga adalah segala sesuatu yang dijadikan mabi’ adalah
sah dijadikan harga, tetapi tidak semua harga dapat dijadikan mabi’
Diantara
perbedaan antara mabi’ dan Tsaman adalah :
1. Secara umum uang
adalah harga, sedangkan barang yang
dijual adalah mabi’;
2. Jika tidak
menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah mabi’ dan penukarnya adalah harga.
e.
Ketetapan Mabi’ dan Harga
Hukum-hukum
yang berkaitan dengan mabi’ dan harga antara lain :
1. Mabi
disyaratkan haruslah harta yang bermanfaat, sedangkan harga tidak disyaratkan
demikian.
2. Mabi’ disyaratkan
harus ada dalam kepemilikan penjual, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian.
3. Tidak boleh
mendahulukan harga pada jual-beli pesanan, sebaliknya mabi’ harus di dahulukan.
4. Orang yang
bertanggung jawab atas harga adalah pembeli sedangkan yang bertanggung jawab
atas mabi’ adalah penjual.
5. Menurut ulama
Hanafiyah, akad tanpa menyebutkan harga adalah fasid dan akad tanpa menyebutkan
mabi’ adalah batal.
6. Mabi’ rusak
sebelum penyerahan adalah batal, sedangkan bila harga rusak sebelum penyerahan,
tidak batal.
7. Tidak boleh tasharruf atas barang yang belum
diterimanya, tetapi dibolehkan bagi penjual untuk tasharruf sebelum menerima.
2.4. Macam-Macam Jual Beli
1.
Bai’ Sohihah
Yaitu akad jual beli yang telah memenuhi syarat dan
rukunnya.
2.
Bai Fasidah
Yaitu akad jual yang tidak memenuhi salah satu atau
seluruh syarat dan rukunnya .
a. Macam-macam Bai’ Sohihah
1. Jual beli barang yang
terlihat secara jelas dan ada ditempat terjadinya transaksi.
2. Jual beli barang yang
pesanan yang lazim dikenal dengan istilah dengan akad salam.
3. Jual beli mas atau
perak, baik sejenis atau tidak (bai’
sharf).
4. Jual beli barang
dengan menyatakan harga perolehan ditambah keuntungan (bai murabahah).
5. Jual beli barang
secara kerja sama atau serikat (bai
isyrak).
6. Jual beli barang
dengan cara penjual memberi diskon kepada pembeli (bai muhatah).
7. Jual beli barang
dengan harga pokok, tanpa ada keuntungan (bai’
tauliyah).
8. Jual beli hewan
dengan hewan (bai muqabadah).
9. Jual beli barang
dengan syarat khiyar, yaitu perjanjian yang telah disepakati antara penjual dan
pembeli, untuk mengembalikan barang yang diperjual belikan, jika tidak ada
kecocokan didalam masa yang telah disepakati oleh keduanya.
10. Jual beli barang
dengan syarat tidak ada cacat (bai
bisyarti al baro)
b. Macam-macam bai’
fasidah (terlarang)
Jual
beli terlarang artinya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual
beli, yaitu :
1. Jual Beli Sistem Ijon
Maksud
dari jual beli sistem Ijon adalah jual beli hasil tanaman yang masih belum
nyata buahnya, belum ada isinya, belum ada buahnya, seperti jual beli padi
masih muda, jual beli mangga masih berwujud bunga, semua itu kemungkinan besar
masih bisa rusak yang akan dapat merugikan kedua belah pihak. Rasulullah saw
bersabda : “Dari Ibnu Umar, Nabi Muhammad
SAW, telah melarang jual beli buah-buahan sehingga nyata baiknya buah itu
(pantas untuk diambil dan dipetik buahnya)” HR. Bukhori dan Muslim.
2. Jual beli barang
haram
Jual
beli barang yang diharamkan hukumnya tidak sah atau dilarang serta karena haram hukumnya. Seperti jual beli minuman
keras (khamr), bangkai, darah, daging
babi, patung berhala dan sebagainya.
3. Jual beli sperma
hewan
Jual
beli sperma hewan tidak sah, karena sperma tidak dapat diketahui kadarnya dan
tidak dapat diterima wujudnya, rasulullah saw, bersabda : “rasulullah saw, telah melarang jual beli kelebihan air (sperma)” (H.R
Muslim)
4. Jual beli anak
binatang yang masih ada dalam kandungan induknya
Hal
ini dilarang karena belum jelas kemungkinannya ketika lahir hidup atau mati.
Rasulullah saw, bersabda : “sesungguhnya rasulullah saw, melarang jual beli
anak binatang yang masih dalam kandungan induknya” (H.R Bukhori dan Muslim)
5. Jual beli barang yang
belum dimiliki
Maksudnya
adalah jual beli yang barangnya belum diterima dan masih berada di tangan
penjual pertama. Rasulullah saw, bersabda : “nabi
Muhammad saw, telah bersabda janganlah engkau menjual sesuatu yang baru saja
engkau beli, sehingga engkau menerima (memegang) barang itu” (HR. Ahmad dan
Baihaqi)
6. Jual beli barang yang
belum jelas
Menjual
buah-buahan yang belum nyata buahnya, sabda nabi Muhammad saw, dari Ibnu Umar
Ra : “Nabi Muhammad saw, telah melarang
menjual buah-buahan yang tidak tampak manfaatnya” (HR. Muttafaq Alaih)
3. Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi
empat macam :
a. Jual beli saham
(pesanan)
Jual
beli saham adalah jual-beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara
menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
b. Jual-beli muqayadhah
(barter)
Jual
beli muqayadhah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang,
seperti menukar baju dengan sepatu.
c. Jual beli muthlaq
Jual
beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati
sebagai alat pertukaran, seperti uang.
d. Jual beli alat
penukar dengan alat penukar
Jual
beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang biasa
dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan
uang emas.
4. Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi pula menjadi
empat bagian :
1. Jual beli yang
menguntungkan (al-murabbahah),
2. Jual beli yang tidak
menguntungkan, yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah),
3. Jual beli rugi
(al-khasarah)
4. Jual beli al-musawah,
yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya, tetapi kedua orang yang akad saling
meridai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.
2.5. Jual Beli Yang Sah Hukumnya, Tetapi Dilarang
Agama
Jual beli ini
hukumnya sah, tetapi dilarang oleh agama karena adanya suatu sebab atau akibat dari
perbuatan tersebut, yaitu :
a.
Jual beli pada saat Khutbah dan shalat jum’at
Larangan melakukan kegiatan jual beli pada saat
khutbah dan shalat jum’at ini tentu bagi laki-laki muslim, karena pada waktu
itu setiap muslim laki-laki wajib melaksanakan shalat jum’at, Allah swt,
berfirman :
“hai orang-orang yang beriman,
apabila diserukan untuk menunaikan shalat, maka bersegeralah kamu untuk
mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui” (Q.S
Al-Jum’ah : 9)
b.
Jual beli dengan cara menghadang di jalan sebelum
sampai ke pasar
Jual beli seperti ini, penjual tidak mengetahui harga
pasar yang sebenarnya, dengan tujuan barang akan dibeli dengan harga yang
serendah-rendahnya, selanjutnya akan dijual di pasar dengan harga
setinggi-tingginya. Rasulullah saw, bersabda : “janganlah kamu menghambat orang-orang yang akan pasar” (H.R
Bukhori dan Muslim).
c.
Jual beli dengan niat menimbun barang
Jual beli ini tidak terpuji, oleh karena itu dilarang,
karena pada saat orang banyak membutuhkan justru ia menimbun dan akan dijual
dengan harga setinggi-tingginya pada saat barang-barang yang ia timbun langka.
d.
Jual beli dengan cara mengurangi ukuran dan timbangan
Contoh jual beli mengurangi ukuran dan timbangan
adalah apabila ia bermaksud menipu, ia menjual minyak tanah dengan mengatakan
satu liter ternyata tidak ada satu liter, menjual beras 1 kg, ternyata setelah
ditimbang hanya 8 ons dan sebagainya.
e.
Jual beli dengan cara mengecoh
Jual beli ini termasuk menipu sehingga dilarang,
misalnya penjual mangga meletakkan mangga yang bagus-bagus diatas onggokan,
sedangkan yang jelek-jelek ditempatkan dibawah onggokan.
f.
Jual beli barang yang masih di tawar orang lain
Apabila masih terjadi tawar menawar antara penjual dan
pembeli hendaknya penjual tidak menjual tidak menjual barang tersebut kepada
orang lain sebaliknya apabila seseorang akan membeli suatu barang maka
hendaknya tidak ikut membeli suatu barang yang sedang ditawar oleh orang lain,
kecuali sudah tidak ada kepastian dari orang tersebut atau sudah membatalkan
jual belinya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diperbolehkan
dalam Islam.Hal ini dikarenakan jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi
kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka.Namun demikian, tidak
semua jual beli diperbolehkan.Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak
memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli
adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan objek akad yang kesemuanya
mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua telah dijelaskan di
atas.Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan
rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat kesamaan, yang berbeda
hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.
Bagi
umat Islam yang melakukan bisnis dan selalu berpegang teguh pada norma-norma
hukum islam, akan mendapat berbagai hikmah diantaranya; (a) bahwa jual beli
(bisnis) dalam islam dapat bernilai sosial atau tolong menolong terhadap
sesama, akan menumbuhkan berbagai pahala, (b) bisnis dalam islam merupakan
salah satu cara untuk menjaga kebersihan dan halalnya harta yang dimakan untuk
dirinya dan keluarganya, (c) bisnis dalam islam merupakan cara untuk
memberantas kemalasan, pengangguran dan pemerasan kepada orang lain, (d)
berbisnis dengan jujur, sabar, ramah, memberikan pelayanan yang memuaskan
sebagaimana yang diajarkan dalam islam akan selalu menjalin persahabatan kepada
sesama manusia.
3.2. Saran
Jual
beli merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap manusia, namun pada
zaman sekarang manusia tidak menghiraukan hukum islam. Oleh karena itu, sering
terjadi penipuan dimana-mana. Untuk menjaga perdamaian dan ketertiban sebaiknya
kita berhati-hati dalam bertransaksi dan alangkah baiknya menerapkan hukum
islam dalam interaksinya.
Allah
SWT telah berfirman bahwasannya Allah memperbolehkan jual beli dan mengharamkan
riba.Maka dari itu, jauhilah riba dan jangan sampai kita melakukun riba. Karena
sesungguhnya riba dapat merugikan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe'i,
Rachmat. 2006. Fiqih Muamalah.
Bandung : Cv. Pustaka setia.
Syafe’i,
Nurdin. 2016. Buku Siswa Fiqih Madrasah
Tsanawiyah Kelas IX.
Jakarta : Kementerian Agama Republik Indonesia.
Jakarta : Kementerian Agama Republik Indonesia.
Zuhdi,
Masjfuk. 1997. Masail Fiqhiyah, Jakarta
: PT. Toko Gunung Agung.
S
Shobirin. (2016). “Jual Beli dalam
Pandangan Islam”. [online]. Tersedia :
journal.stainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/download/1494/1372.
journal.stainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/download/1494/1372.
According to Stanford Medical, It's indeed the one and ONLY reason this country's women live 10 years more and weigh on average 42 lbs lighter than we do.
ReplyDelete(Just so you know, it really has NOTHING to do with genetics or some secret exercise and EVERYTHING to do with "how" they are eating.)
BTW, I said "HOW", and not "WHAT"...
TAP this link to uncover if this brief quiz can help you release your true weight loss possibility
Assalamualaikum Akhi izin copy ilmunya...
ReplyDeleteAssalamualaikum Akhi izin copy ilmunya...
ReplyDeleteCasinoDaddy.com: Why are casino reviews so important?
ReplyDeleteBest and #1 reasons to play 군포 출장마사지 casino games at CasinoDaddy.com. Read our expert review and sign 전주 출장마사지 up for titanium wire the best online 충주 출장안마 casino offers. 목포 출장안마